Kamis, 21 Februari 2019

I HATE MYSELF














"I HATE MYSELF "

Jadi harus dari mana saya harus memulai,
Oh iya mungkin saya akan mulai dari sebuah ucapan.


"Happy Birthday ” itu ucapan yang selalu kudengar setahun sekali.
Ucapan tanda kepedulian yang membuatku senang.
Namun entah kenapa tahun ini terasa berbeda.
Ucapan itu malah terdengar menakutkan.
Mungkin karena aku merasa semakin tua atau sepertinya ada yang salah?
Sejak1998  aku menjalani hidup,
tetapi baru empat tahun belajar memahami kehidupan.
Lima belas tahunku seakan sia-sia.
Melewati masa  SD seperti hilang ingatan.
Aku tak bisa membedakan kenyataan dan khayalan.
Masa kecilku sungguh membingungkan.
masa SMP aku mengenal kebencian dan menanamkannya dalam-dalam.
Saat itulah aku sadar bahwa sosok fiksi itu ada dan bersemayam dalam perasaan.
Kulalui masa itu bagai kutu loncat. Pindah kesana-kesini tak ada tujuan.
Pada akhirnya, aku tetap merasa bosan dan sendirian.
Aku mulai menemui arti proses menjadi manusia di masa SMA.
Mereka mengubahku menjadi manusia,
bukan lagi sekadar robot yang menjalani rutinitas biasa.
Mereka mengajarkanku cinta pada keabadian.
Mereka mengenalkanku pada kebenaran.

Ulang tahun bagiku tidak terlalu penting digembar-gemborkan, toh itu hanya perayaan atas bertambahnya umur berkurangya waktuku untuk menghirup udara. Dan cukup aku dan Tuhan saja yang merayakan itu.

 Ternyata, hari ini saya bisa melihat, siapa yang peduli dan siapa yang tidak. Peduli dan tidak itu bukanlah persoalan . Saya hanya ingin mengetahuinya.


Menurutku saat ini, media komunikasi virtual   itu hanya memberikan pertemanan semu. Teman-teman yang hampir saya jumpai setiap hari pun juga hanyalah pertemanan semu. Hanya segelintir orang-orang yang mengingat ulang tahun saya tanpa bantuan internet. dan saya sangat menghargai mereka. Sisanya, hanya mengetahui ulang tahun saya berasal dari internet. Saya juga mengerti, saya bukan siapa-siapa di kehidupan mereka, jadi saya juga tidak menuntut mereka untuk hafal dengan tanggal lahir saya, Ini sungguh tidak penting.


Saya ucapkan terima kasih pada sahabat-sahabat yang mengucapkan selamat ulang tahun dari lubuk hati yang terdalam. Suatu saat, ketika mungkin saya mengalami cobaan yang sangat berat, saya tahu harus kemana saya meminta bantuan.
Tak ada yang berubah semua masih sama hanya umur yang bertambah,
aku masih mencari arti manusia sesungguhnya dan aku masih mencari DAMAI.



FEBRUARI 22 2019

Rabu, 20 Februari 2019

Omnipotence Paradoks

Omnipotence Paradoks 



 Omnipotence Paradoks  adalah paradoks semantik yang mempertanyakan dua hal: 
Apakah entitas  mahakuasa itu mungkin ada secara logis? 
dan apa yang dimaksud dengan 'kemahakuasaan'? 
Menurut paradoks ini: jika suatu yang-ada (being) dapat melakukan semua hal, maka ia harus mampu menciptakan suatu tugas yang tak dapat ia lakukan; akibatnya, ia tak dapat melakukan semua hal.
 Namun, di sisi lain, jika ia tak bisa membuat tugas yang tak dapat ia lakukan, maka ada suatu hal yang tak dapat ia lakukan.Salah satu contoh paradoks kemahakuasaan adalah paradoks batu:
 "Bisakah sesuatu yang mahakuasa menciptakan batu yang sangat berat hingga ia tak mampu mengangkatnya?"

Argumen ini sudah ada semenjak abad pertengahan, paling tidak semenjak abad ke-12, dan diutarakan oleh Ibnu Rasyd (1126–1198) dan kemudian oleh Thomas Aquinas (sebelum tahun 532) mengungkapkan pendahulu paradoks ini dan bertanya apakah Tuhan bisa "menolak dirinya sendiri."